Different Mindset

Avd
3 min readJan 6, 2023

Baca di post instagram teh Patra yang ini, beliau bilang,

Rasanya lamaa banget anak nggak gede-gede. Sampe dia bener-bener bisa mandiri ngurus dirinya sendiri kayaknya berabad rasanya. Padahal ternyata seheboh-hebohnya ya cuma 3–4 tahun aja. Hihi. Habis itu ya udah. Dia bisa ngurus diri sendiri. Bahkan bisa ngurus kebutuhan emaknya. Dipikir-pikir, sampai sekarang lebih lama dia ngurus emaknya dibanding dulu emaknya ngurus dia. Dan ini akan berlangsung sepanjang hayat, kan, sebagai anak yang berbakti pada emak 😆. Apalagi emak makin tua mungkin makin merepotkan anaknya. Itu sunnatullah nya.

Poin yang saya tangkap dari sini, selain bahwa waktu kerepotan mengurus anak-anak itu cuma sebentar, adalah kesabaran. Saya jadi berpikir, jangan-jangan seumur hidup juga lebih banyak sabar anak menghadapi orang tuanya daripada sabar orang tua menghadapi anaknya :(

Kita harus punya mindset yang berbeda dalam peran tertentu. Mindset kita sebagai anak dan sebagai orang tua harus beda. Mindset sebagai istri juga beda dengan mindset sebagai suami. Sebagai anak, saya tidak merasa direpotkan orang tua, namun sebagai orang tua, saya merasa anak saya telah banyak bersabar menghadapi saya.

Sudah banyak kita temukan contoh sehari-hari, ketika seseorang menemukan nasihat untuk seorang suami, lalu dia tunjukkan pada suaminya, berharap suaminya berubah. Ketika seorang anak membaca artikel tentang inner child, kemudian memandang orang tuanya toxic. Hey, artikel itu bukan ditujukkan untukmu. Artikel itu untuk para orang tua. Nasihat untuk suami bukan ditujukan untuk para istri. Ketika kita sebagai istri, fokus pada nasihat untuk istri. Ketika kita sebagai anak, fokus pada nasihat sebagai anak. Ketika kita sebagai orang tua, fokus memperbaiki diri menjadi orang tua yang lebih baik.

Jadi situasi dan kondisinya tidak saling menuntut. Yang ada malah saling mengusahakan yang terbaik.

Saya ingat waktu saya kuliah dulu, mahasiswa-mahasiswa yang merantau kadang minta dijemput di stasiun oleh temannya untuk pulang ke kos. Beberapa kali saya menjemput teman saya, karena dia meminta tolong dan saya senang bisa membantu. It’s my pleasure. Suatu hari, dia mengamati bahwa saya tidak pernah meminta tolong dia untuk menjemput saya. Dia bertanya, “Kenapa?”

“Karena aku tidak mau merepotkan orang lain.”

“Oh, jadi kalau aku minta tolong dijemput, kamu merasa repot?”

“Nggak juga sih.” Jujur saya juga bingung waktu itu, tapi saya menjawab jujur bahwa saya sebenarnya malah senang bisa membantu.

Dia melanjutkan, “Secara psikologis, kalau orang ngga mau minta tolong sesuatu karena dia merasa itu merepotkan, pastinya kalau orang minta tolong ke dia itu sebenarnya dia merasa repot.”

Waktu itu percakapan selesai di situ. Saya tidak banyak pikir. It’s just recently that I realize, saya menempatkan posisi yang berbeda. Sebagai orang yang dimintai tolong, mungkin faktanya benar saya mengeluarkan usaha dan waktu lebih, tapi secara emosi yang dirasakan, saya memang merasa senang karena meyakini saya menjalankan perintah Allah. Sebagai orang yang membutuhkan bantuan, saya memang berpikir sebisa mungkin tidak merepotkan orang lain. Kerjakan sendiri dulu apa yang bisa dikerjakan.

Kembali ke hubungan orang tua dan anak tadi. Saya jadi ingat Adhitya Mulya pernah menulis kira-kira seperti ini tentang unconditional love. Unconditional love adalah keadaan cinta tanpa syarat, di mana kita tetap mencintai seseorang tanpa peduli apa yang dia lakukan. Terkadang, cinta orang tualah yang bersyarat. Baru menyayangi, mencintai, dan membanggakan anaknya ketika mereka mencapai sesuatu. Seringnya, cinta anaklah yang tak bersyarat. Sebanyak apapun orang tua melakukan kesalahan, anak akan kembali ke orang tua dan memaafkan mereka.

Cerita lain yang hampir sama adalah kisah yang saya baca di buku Rumi. Dikisahkan ada penggembala yang mencari satu dombanya yang hilang. Satu domba yang bandel ini lari dari kawanannya. Penggembala mencarinya ke mana-mana hingga langit gelap, sampai akhirnya ia menemukan dombanya yang lelah dan sedih karena tidak tau jalan pulang. Penggembala ini berkata, “Aku tak peduli kau membuatku kelelahan, tapi kenapa kau menyusahkan dirimu sendiri?”

And whose unconditional love is greater than Allah’s? We make mistakes and we sins, yet Allah forgives us again and again.

Let me end this with Teh Patra’s closing:

Jadi, kalau sekarang masih ngerasa jadi makhluk paling repot karena ngurus bayi dan balita, in syaa Allah sebentar lagi Allah akan membalas semuanya, tunai di dunia, plus bonus margin bagi hasil yang tak terhingga di akhirat kelak.

--

--