Priority Triangle

Avd
7 min readFeb 13, 2022

Everytime I feel like doing more than what I’m capable of, ambis mau ngerjain ini itu, daftar ini itu, selalu inget-inget petuah Kak Intan ini lagi. Yah bisa-bisa aja kok ngejar both passion and family, but at some point there’s a price we have to pay.

Remember the triangle back then at college time:

When we’re a mother, the triangle changes. 1) Social life becomes parenthood, how we build relationship with our kids, husband, parents, friends. 2) The needs of enough sleep stays the same. 3) Good grades becomes self actualization, anything we feel good doing it. Not necessarily kerja kantoran, but anything you’re passionate of. Bisnis, sama saja.

Mau kejar semua juga silakan, but there’s a but. Intinya semua boleh. Just read til the end to see the bigger picture.

Bisa aja ngejar tiga-tiganya, it will look like scoring with spider chart, tapi apakah tiga-tiganya bisa maksimal? Nope. Let’s say there’s a scoring system of 1–10, we won’t even make it to 5 for each. We will earn what we’re fighting for. Mungkin ini yang dibilang orang lain “balance” but basically it’s just another multitasking, which is NOT effective.

Let’s say kita punya energi 100% dan waktu 24 jam. Katakanlah kita memberi porsi untuk istirahat dan tidur sebanyak 25%, sebanyak 6 jam, karena ini juga kebutuhan kita. Ketika mengerjakan 1 hal, tentu 75% energi dan waktu akan dicurahkan ke situ. Ketika kita mengerjakan 2, tentu hanya 35% energi dan waktu dicurahkan ke Pekerjaan 1 dan Pekerjaan 2. Ketika kita mengerjakan lebih banyak hal lagi? Jadi ibu, plus karyawan, plus mengerjakan side hustle, jadi istri, jadi pengurus di lingkungan rumah, jadi apa lagi entahlah. God knows how FEW percent we give. Bisa kasih 10% saja sudah bagus banget.

Bu Elly Risman bilang, mengasuh anak dan bekerja, keduanya adalah pekerjaan besar. Tidak bisa dilakukan bersamaan. Surprisingly, my husband also comes with an analogy. Makan dan minum, ngga bisa bareng. Even makan dan bernapas, ngga bisa juga.

Lepaskan satu peran dulu. Saya ingat dalam salah satu zoom bu Sarra Risman bilang kenapa parenting itu susah, salah satunya karena terlalu banyak peran yang ingin dimainkan. With multitasking you get all what you want, but not maximizing them.

At the same time, kita juga musti tenang di tengah hustle culture ini.

— Nadya Intan Kemala

Dilepas dulu sekarang, bukan berarti selamanya. Is it should be NOW? Why hurry? What are you rushing? Petuah dalam parenting, jangan menggegas anak. Kita juga jangan memburu-buru diri sendiri harus semuanya sekarang. Serakah itu namanya.

New moms are struggling bukan karena ngga selesai sama dirinya, tapi karena ngga tau kalau hidupnya will never be the same after kids. Yaa gimana, masa muda berapi-api, kuliah aktif sana-sini, ngga pernah berhenti, kerja sangat berdaya, puas cuan, hustle culture, terus pause…

Pensiunan, new moms, everyone in this pandemi, persamaannya adalah merasa ngga berdaya. Post-power syndrome. Merasa power-nya hilang, hopeless. How to get out of the hopelessness? Do it professionally. Improve the routine. Lebih dinamis. Lansia yang pensiun dengan bahagia beda dengan lansia yang masih merasa pengen punya power. Keinginan-keinginan ini yang perlu diredam. We are so small, guys, just a tiny dot in the universe. Orang-orang yang bisa lihat peluang waktu pandemi juga feel differently than those who can’t.

Finally, dengan menerima.

Kadang kalau dibilang kurang iman itu yaa 50% benar. Kita kurang iman keenam, percaya sama takdir qadha & qadar. Ngga yakin kalau this is the best for us for now. Ngga perlu takut kekurangan karena yakin Allah udah atur. Yang terjadi sekarang harus dilalui for a greater good in the future. Kalau udah ketemu greater good-nya juga akan bersyukur dengan masa lalu yang dulu kok rasanya pahit banget.

If you knew how Allah deals with your affairs, your heart will melt out of love for Him.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa harus mengutamakan relationship dengan suami, anak, orang tua, saudara, teman, over our passion?

BECAUSE

Semua ada waktunya.

Hubungan dengan anak sebenarnya lebih sederhana. Mereka sangat sangat membutuhkan bantuan dan kehadiran kita di beberapa tahun pertamanya. Ada yang bilang 5, ada yang 7, ada juga yang 10 atau bahkan 15. Uang bisa dicari. Even after they’re 15. Motherhood should be top two priority other than our health. Kenapa? Karena golden age tidak terulang. I’m not talking about academics, it’s about ethics and personality. I’ve seen adults who are going nowhere karena orang tuanya “tidak hadir” di masa kecilnya.

Lagian, siapa yang memilih punya anak? It’s our decision, and every decision comes with consequences and responsibility. Anak adalah amanah, dan…

Mengerjakan prioritas itu sebenarnya berarti menjalankan amanah. Menjalankan amanah adalah menjalankan ketaqwaan. Menjalankan ketaqwaan adalah salah satu pintu rezeki. Seakan-akan saat seseorang berusaha menjalankan amanahnya, rezeki lain yang lewat di depan mata akan hilang kalau tak segera ditangkap. Menjalankan amanah tidak akan mengurangi jatah rezeki. — @cizkah

Banyak sekali yang memilih bekerja memang karena takut rezekinya tidak cukup kalau hanya mengasuh anak di rumah, padahal rezeki datang dari prioritas yang sedang dikerjakan. It’s all set. Cuma datang lewat jalur mana yang kita usahakan. Tugas kita hanya carilah jalur yang berkah.

However, time isn’t reversible. Kita tidak bisa membetulkan anak remaja yang sudah rusak. Bangun pondasinya lebih dulu. Know your priority.

“Adil” bukan berarti membagi waktu sama rata antara tidur-mengasuh-berkarya masing-masing 8 jam, but it is knowing which one is the top priority at the time. Satu bagian bisa jadi lebih besar daripada yang lain untuk saat ini. Contoh, jam 10 malam harusnya masih kerja atau tidur? Deep down we know the answer. Priority is a tricky thing it evolves over time. Misalnya, waktu pagi ketika anak belum bangun, it’s me time. Setelah itu, porsi besar untuk keluarga dan beraktivitas. Waktu malam, prioritas tidur.

Bu Elly Risman menganalogikan anak sebagai makanan. Are they appetizer, main course, or dessert? Porsi mana yang lebih banyak? Dessert tentu boleh, tapi apakah bermanfaat untuk tubuh jika porsi banyak dalam jangka panjang?

Saya juga teringat Ummu Balqis dan suaminya yang berbisnis dan karyawan-karyawan perempuannya semua berstatus single, karena berprinsip ibu rumah tangga harus selalu mendahulukan keluarganya sebagai prioritas. Daripada double job sebagai karyawan yang bingung atur prioritas, tidak amanah di keduanya. Pengalaman beliau ada staf yang menikah selalu berujung diberi kompensasi terus-terusan (terlambat, izin tidak masuk) yang berujung kecemburuan sosial, sehingga situasi kantor tidak nyaman bagi sesama staf. Kebanyakan ibu bekerja pun pasti mementingkan anaknya. Ketika anak sakit pasti pekerjaan keteteran, performance ngga maksimal. Akhirnya trade off lagi. Bisa lakukan semuanya, tapi nggak maksimal.

Banyak yang seems like they can juggle, but are you sure you’re not just fulfilling the basic needs. Kasih makan, mandiin, anterin tidur. Banyak hal lain dengan prioritas tinggi yang justru terbengkalai. Sempat mendidik dan memberi stimulasi, adab, dan bekal anak menjaga diri? Sempat belajar hal lain? Me time? Couple time? Tidur? Satu hari hanya 24 jam. We all have the same resources and Allah is fair to all of us.

Next time you see people who seems so perfect, balance antara karir moncer dan anak-anak baik, itu hanya etalase. They are actually sacrificing something. Most probably it’s their health.

Mental health matters, including self actualization, tentu tetap ada porsinya meski kecil, but physical health is what makes you live, first and foremost. I’ve read a note of a workaholic saying, “Tidur 2 jam cukup.” Well, it’s not. Orang-orang banyak yang mengira tidur hanya untuk physical health, while actually it plays a big role too in the mental health. Mood dan energi orang cukup tidur akan berbeda dengan orang yang kurang tidur.

Get enough sleep. Jangan keblinger eksistensi. We can exist by sleeping. Jangan keblinger impact. We can function well dan actually bermanfaat untuk orang lain kalau kita sehat fisik dan mental.

Whoever we are, single, married, parents, prioritas seharusnya adalah kesehatan diri sendiri, hubungan dengan keluarga, baru yang lainnya. Skill memilih prioritas ini juga penting untuk diajarkan ke anak.

In the end, mau kejar semua juga silakan. Kerja kuliah ngasuh anak aktif organisasi bebas. Hanya saja, terkadang ada plot twist. Kita udah analisis sedetil mungkin di awal risks & consequencesnya, ternyata risikonya terjadi and the impact is bigger than we can prevent.

I’m not against anything, it’s just a matter of:

  1. Prioritising
  2. Decision making
  3. Time management
  4. Risk management

I don’t intend to make anyone feel insecure. I write this for singles out there. Know the risks. If you feel insecure, maybe you’re alarmed, it’s a good sign, of something is not right. Remember that everything is neutral, but our response is not.

--

--